Direktur LBH Adhiyaksa Didik Pramono dan tim LSM Robin Hood 23 berpose bersama dengan keluarga almarhum Junaidi yang meninggal di Samudera Hindia beberapa waktu lalu, Selasa (28/2).
PEKALONGANNEWS.COM, Kota Pekalongan – Keluarga almarhum Junaidi akhirnya menerima santunan kematian dari perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan. Nelayan warga Pasirsari, Kota Pekalongan itu diketahui meninggal dunia saat berlayar di Samudera Hindia dan ahli waris sempat mengalami kesulitan mengurus klaim.
“Alhamulilah setelah dibantu pegurusannya oleh LBH Adhyaksa pihak perusahaan akhirnya mau bertanggung jawab dan dari BPJS Ketenagakerjaan klaimnya juga bisa dicairkan,” ujar Istri korban Rahayu Slamet (45), Selasa (27/2/2024).
Ia mengungkap uang kerahiman yang diterima dari perusahaan kapal penangkap Ikan di Jakarta tempat suaminya bekerja sebesar Rp 8 juta dan klaim BPJS Ketenagakerjaan Kota Pekalongan sebesar Rp 42 juta.
Sebagian uang sudah digunakan untuk membiayai salamatan almarhum dan sebagian lagi untuk menyelesaikan tanggungan atau kewajiban yang ditinggalkan oleh almarhum.
“Kami sekeluarga merasa lega dan tidak bingung lagi. Terima kasih kepada Pak Didik dan teman-temannya yang telah membantu sejak awal hingga terselesaikan semuanya,” ucapnya.
Sementara itu Direktur LBH Adhyaksa, Didik Pramono menyebut bantuan pendampingan kepada keluarga almarhum Junaidi atau ahli waris rampung karena kerja tim.
“Jadi bagi warga tidak mampu yang sedang berperkara hukum, kami siap bantu pendampingannya bila diminta,” katanya.
Sebelumnya diberitakan seorang nelayan asal Kota Pekalongan dikabarkan meninggal dunia di Samudera Hindia. Nelayan warga Kramatsari, Kecamatan Pekalongan Barat bernama Junaidi (48) itu berangkat melaut bersama kapal KM Sri Mariana berangkat dari Pelabuhan Sibolga, Sumatra Utara.
“Kejadian meninggalnya Jum’at 22 Desember 2023. Kemudian jenazah diantar sampai ke rumah pada 31 Desember 2023,” ungkap istri almarhum Rahayu Slamet (45) saat ditemui, Kamis (18/1/2024).
Ia mengatakan kematian suaminya yang mendadak itu membuat bingung keluarga, sebab selain saat berangkat masih bugar juga pihak perusahaan tidak bertanggungjawab, bahkan menutupi kematian suaminya.
Rahayu menyebut pihak keluarga hanya menerima laporan kematian suaminya dari polisi saja. Perusahaan tidak melaporkan kematian suaminya ke Syahbandar maupun Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat.
“Tiba di Pelabuhan Sibolga, kapal hanya menurunkan jenazah suami saya lalu berangkat lagi dan kabar yang diterima keluarga, perusahaan menutupi informasi bahwa tidak ada kematian ABK di kapal,” bebernya.
Hingga hari ini, lanjutnya, pihak perusahaan juga tidak memberikan uang kerohiman untuk biaya pemakaman dan tahlilan. Jenazah hanya diantar oleh ambulan tanpa ada perwakilan dari perusahaan.
Rahayu mengaku kontak terakhir dengan anaknya yang juga ikut melaut bersama ayahnya tersebut terjadi pada 28 Desember 2023, tepatnya sepekan setelah suamimya meninggal.
“Anak saya awalnya tidak mengaku kalau bapaknya telah meninggal di kapal. Mungkin anaknya takut karena pamitnya mau pulang ke rumah saja, namun setelah saya desak akhirnya mengaku,” terangnya.
Ia menceritakan suami dan anaknya berangkat menuju Pelabuhan Sibolga bersama 30-an warga Batang, Pekalongan dan Tegal pada Senin 16 Oktober 2023. Kemudian kapal KM Sri Mariana berangkat menuju Samudera Hindia pada Selasa 12 Desember 2023.
“Sepuluh hari kemudian kapal berada di perairan Samudera Hindia lalu suami saya meninggal dunia jam 5 pagi. Anak saya yang meminta kapal putar balik pulang ke Pelabuhan Sibolga,” sebutnya.
Rahayu menjelaskan suami dan anaknya rencananya melaut bersama KM Sri Mariana selama 10 bulan. Upah yang bakal diterima sebagai ABK kapal cakalang itu sebesar Rp 16 juta.
“Januari ini rencananya mau dikirim uang lagi sebesar Rp 6 juta namun suaminya meninggal. Akhirnya saya dipertemukan dengan Pak Didik yang mau membantu menguruskan hak suami saya,” ucapnya. (*)